Penulis: Kristianto
Keilmuan perihal pemberdayaan masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu, menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan paraktis empiris. Salah satunya adalah tentang paradigma pemberdayaan. Perkembangan paradigma pemberdayaan masyarakat ini secara umum merupakan perubahan transformatif pada cara pandang praktik pemberdayaan yang menekankan pada keterlibatan aktif, peningkatan kapasitas, serta mengeliminasi pendekatan top-down untuk mendorong masyarakat mencapai kemajuan dan kemandirian mereka sendiri.
Lebih lanjut, dalam praktik pemberdayaan, salah satu bagian pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan lingkungan di mana anggota masyarakat tidak hanya sekedar berperan sebagai objek, tetapi menjadi bagian integral dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan berbagai program pemberdayaan.
Community Based Development atau Community Driven Development?
Paradigma paling umum, dan bisa jadi menjadi yang paling kita kenal, adalah Community Based Development (CBD) dan Community Driven Development (CDD). Keduanya merupakan konsep yang dapat dengan mudah kita temukan di artikel-artikel, pembelajaran tentang pemberdayaan, bahkan juga praktik yang kerap dilaksanakan. Namun, tidak semua orang memahami apa perbedaan antar keduanya, atau apakah memang sebenernya keduanya merupakan konsep yang sama?
Community Based Development (CBD) adalah sebuah konsep yang biasanya melibatkan komunitas dalam proses pengembangan tetapi dengan peran yang lebih terbatas. Dalam paradigma ini, keputusan strategis dan manajerial sering kali diambil oleh pihak eksternal seperti pemerintah atau lembaga non-pemerintah (NGO) sebagai pemrakarsa, sementara komunitas masyarakat hanya memberikan masukan atau terlibat dalam implementasi proyek. Lebih lanjut menurut Strand et al (2022), pendekatan CBD dapat dikatakan merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk kegiatan yang lebih terspesialisasi atau kegiatan jangka pendek.
Menurut sebuah laporan oleh The World Bank (2004), CBD cenderung memfokuskan partisipasi komunitas pada tahap-tahap tertentu, seperti konsultasi awal atau pelaksanaan, namun kendali utama tetap berada di tangan pihak pemrakarsa yang merancang dan mengelola proyek kegiatan pemberdayaan.
Salah satu contoh penerapan CBD yang pernah dilaksanakan sebagai program nasional oleh pemerintah kita adalah PNPM Mandiri yang berjalan pada medio 2007-2014 yang kemudian pada era sekarang diganti dengan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Kedua program tersebut memiliki kesamaan yaitu lebih berfokus pada penataan dan pembangunan infrastruktur fisik, pelaksanaan programnya bersifat proyek serta lebih terkesan sebuah program top down sebagai respons atas permasalahan tertentu yang ada di masyarakat.
Lantas kemudian apa perbedaannya dengan CDD?
Community driven development (CDD) merupakan sebuah program yang dirancang untuk menghimpun inisiatif dan partisipasi masyarakat. Menurut Tanaka (2006) dalam Resnawaty dan Darwis (2018), menyebutkan bahwa CDD ini merupakan pengembangan dari Community Based Development (CBD). Jika CBD memfokuskan pada berbagai cara dan tindakan berbasis masyarakat dalam proses program dengan penekanan pada cara-cara dan sumber daya lokal yang dimiliki masyarakat dengan keterlibatan yang terbatas. Maka CDD ini merupakan upaya-upaya terorganisir dengan pola pembangunan yang mencakup aktivitas yang lebih luas yang lebih luas. Sebagai contoh, proyek-proyek CBD dapat mencakup banyak unsur yang saling berkesinambungan, mulai dari informasi sederhana hingga pemberdayaan sosial, ekonomi, dan politik kelompok masyarakat.
CDD menekankan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan kontrol yang lebih besar kepada komunitas masyarakat dalam seluruh proses pemberdayaan. Dalam CDD, komunitas tidak hanya dilibatkan dalam konsultasi tetapi memiliki kendali yang lebih besar atas pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan, dan alokasi sumber daya. Menurut sebuah studi oleh Mansuri dan Rao (2004), CDD memungkinkan komunitas untuk memimpin dan mengelola proyek-proyek pemberdayaan mereka sendiri, dengan peran lembaga eksternal (baik pemerintah maupun NGO) lebih bersifat pendukung dan fasilitatif daripada pengambil keputusan utama. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proyek lebih sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada pada komunitas masyarakat.
Konsep CDD inilah yang kini banyak diterapkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh entitas bisnis melalui skema program corporate social responsibility (CSR). Sebab CDD cenderung memfokuskan pada pembangunan kapasitas dan penguatan institusi lokal sebagai bagian integral dari proses pemberdayaan. Bentuk nyata kegiatannya mencakup pelatihan dan peningkatan kapasitas yang memungkinkan komunitas masyarakat untuk mengelola dan mempertahankan proyek dengan lebih efektif dalam jangka panjang. Melalui skema ini, entitas bisnis melalui skema CSR kemudian tidak hanya bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan sporadis, tetapi juga membangun kapasitas lokal dan memperkuat institusi, yang pada akhirnya mendukung keberlanjutan dan otonomi komunitas masyarakat.
Village Driven Development
Selain konsep CBD dan CDD, terdapat sebuah paradigma lain yang bisa jadi kurang begitu populer bagi kita semua namun pada praktiknya telah banyak terimplementasi. Adalah Village Driven Development, sebuah konsep yang lebih memfokusutamakan peran insititusi desa (dan kelurahan) dalam program pemberdayaan. Pendekatan dalam VDD, sejalan dengan prinsip yang dikembangkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).
Menurut Mariana et al (2021), bahwa keberhasilan sebuah program pemeberdayaan ditentukan oleh strategi melalui engagement yang kuat antara institusi desa (dan kelurahan), lembaga ekonomi lokal, masyarakat, dan perusahaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat melalui strategi engagement ini merupakan alternatif dari model pemberdayaan masyarakat yang digerakkan oleh komunitas atau community driven development (CDD). Sementara CDD memberikan kendali atas keputusan dan sumberdaya pada kelompok, dalam perspektif VDD kendala atas pengambilan keputusan ditentukan oleh mekanisme deliberasi yang melibatkan pemerintahan desa dengan masyarakat. Perencanaan, alokasi, dan tatakelola sumberdaya diputuskan dalam forum deliberasi dalam kerangka perencanaan dan penganggaran desa yang terintegrasi.
Keberhasilan program-program dalam kerangka CDD diukur dari tingkat partisipasi kelompok (masyarakat) dalam menjalankan program pemberdayaan. Begitu pula dengan tatakelola sumberdaya. Sementara itu, VDD mensyaratkan sinergi antara institusi desa sebagai representasi negara di tingkat lokal, perusahaan, dan kelompok-kelompok warga. Singkatnya, VDD berupaya mengembalikan posisi pemerintah desa sebagai aktor dalam pembangunan dan penyedia layanan dasar, namun dalam wajah yang demokratis.
Menurut Kristianto & Zuwanita (2023) yang menukil dari Institute of Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2021), bahwa sebuah program pemberdayaan dalam kerangka VVD dapat memberikan fokus melalui dua hal, yakni (1) mendukung penguatan kapasitas pemerintahan desa (SDM, pelayanan publik, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat), dan (2) mendukung upaya peningkatan aset desa dalam pengembangan ekonomi lokal.
Referensi:
Kristianto & Zuwanita, C. S. (2022). Fish Waste MSMEs Empowerment Program in Kalanganyar Village, Sedati District, Sidoarjo Regency Through Village Driven Development Approach. International Journal of Social Service and Research. Vol 2, p. 823-831
Mansuri, G., & Rao, V. (2004). Community-Based and Driven Development: A Critical Review. In The World Bank Research Observer, 19(1), p. 1-39.
Mariana, D., Sukasmanto, Angga, R. D., Rinandari, H., & Latifah, D. A. (2021). Kebangkitan Layanan Dasar di Delta Mahakam: Sinergi Program CSR Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: IRE.
Resnawaty, Risna, & Rudi S. Darwis (2018). Community Driven Development Dalam Implementasi Corporate Social Responsibility Oleh PT. Pertamina Subang. Share Social Work Journal, 8(1), p. 64-73,
Strand, A., Hatlebakk, M., Wimpelmann, T., & Wardak, M. (2022, June). Community-Driven Development or community-based development? Review of Norwegian-funded CDC projects in Afghanistan. CMI Report Number 3, p. 26.